Hukum Goodhart, dan penjumlahan yang menentukan kesuksesan serta kejatuhan sebuah tim

Dalam sepak bola (dan basket), penjumlahan adalah hal yang sangat rumit

Irzi Ahmad R
33 min readMay 6, 2022

Ketika sebuah tolak ukur dijadikan sebagai patokan, tolak ukur tersebut akan kehilangan kegunaannya.

Prolog: Inkompetensi

Tidak ada proyek (yang berjalan) pada klub ini. Mereka hanya menambal lubang ketika hal-hal (buruk) terjadi. — Lionel Messi

Terkadang, kita tidak tahu sejauh mana sebuah institusi, dengan inkompetensi yang belum pernah kita lihat sebelumnya, dapat menghancurkan fondasi yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya.

Setidaknya hingga tahun 2021, Lionel Messi tetap menjaga konsistensinya sebagai pemain terhebat di dunia. Selain kecerdasan, keahlian mendribel, menendang, dan mengumpan bintang lima yang sudah menjadi rahasia umum, Messi juga memiliki kemampuan untuk “menghisap” atensi dari lawan dan membebaskan rekannya. Umur Messi semakin menua, namun kemampuan-kemampuan ini membuat kepentingannya terhadap Barcelona tetap awet. Maka, wajar saja jika Messi dijadikan sebagai bintang utama dari Barcelona.

Barcelona tetap menjadi langganan juara di La Liga, memenangkan 3 gelar La Liga pada paruh akhir dari dekade 2010an, serta tetap menjadi tim yang cukup kompetitif di perhelatan UEFA Champions League, setidaknya hingga tahun 2019. Namun, sudah terendus dari jauh bahwa Barcelona sebenarnya semakin “membusuk” dari dalam.

Adu ego yang tidak terelakkan dari badan socio Barcelona membuat kondisi internal mereka semakin buruk. Pada zaman kepresidenan Josep Maria Bartomeu, masalah tersebut semakin merembes menuju segi operasional dari klub, di mana mereka seringkali melakukan langkah-langkah bisnis yang menghancurkan masa depan klub tersebut secara jangka panjang. Sepeninggal Neymar, Barcelona berusaha mengganti jasanya dengan membeli Philippe Coutinho, Ousmane Dembele, dan Antoine Griezmann, yang membuat mereka harus menggelontorkan dana sebesar 370 juta euro. Akan tetapi, performa mereka tidak mencapai level yang diharapkan oleh Barcelona.

Meskipun dapat dipungkiri bahwa terdapat akusisi pemain yang cukup sukses, seperti Arturo Vidal, Paulinho, atau Frenkie de Jong, hal itu tidak dapat menutupi kebobrokan Barcelona di atas lapangan. Setelah hengkangnya Neymar, Barcelona tidak mampu untuk mencapai final Champions League, setelah terkena comeback melawan AS Roma yang harus mencetak 3 gol, dan Liverpool yang harus mencetak 4 gol. Namun, bencana yang sesungguhnya terjadi pada musim depan.

Ernesto Valverde, yang sudah melakukan kerja luar biasa dalam membentuk tim fungsional dari bencana susunan pemain ini, semakin dibuat pusing dan pada akhirnya harus dipecat. Valverde si Pragmatis pun diganti oleh sang Idealis Sepak Bola Cantik, Quique Setien, yang ditujukan untuk memberikan ilusi bahwa Barcelona setidaknya masih mampu bermain sepak bola cantik. Ilusi tersebut hanya bertahan selama 26 pertandingan, sebelum mereka dipermalukan oleh Bayern Munich pada perempat final Champions League dengan skor 8–2. Setelah itu, kejutan! Setien dipecat meskipun baru kalah 5 kali dan seri 4 kali, tentunya dengan permasalahan administrasi yang mengiringi proses tersebut (masalah kontrak).

Layaknya nanah, prahara tersebut semakin menyebar dan terus menyebar hingga akhirnya membuat Barcelona tidak dapat bangkit dari tempat tidurnya dan harus diolesi obat oleh tabib serta dayang-dayangnya. Mengacu pada utas yang dibuat oleh Swiss Ramble, salah satu akun keuangan sepak bola yang reliabel di Twitter, Barcelona mengalami mismanajemen finansial selama bertahun-tahun, yang menyebabkan pengeluaran gaji mereka semakin mendekati salary cap (ambang gaji), sehingga membuat mereka kewalahan dalam mendaftarkan pemain pada bursa transfer musim panas 2021.

Pada akhirnya, korban paling utama dalam rentetan kejadian ini adalah Messi. Rentetan langkah-langkah ceroboh yang dilakukan oleh petinggi Barcelona membuat ia ingin hengkang dari klub tempat ia dibesarkan. Setelah diberi ultimatum oleh Bartomeu mengenai klausul pelepasannya, Messi terpaksa untuk tetap bermain di Barcelona, karena ia tidak ingin menghadapi klub yang ia cintai dalam sidang.

Bermain pada tahun terakhir di kontraknya, Messi tetap berkontribusi besar terhadap performa Barcelona, mencetak 30 gol dan 9 asis pada musim 2020/21. Namun, Barcelona semakin terbenam pada kompetisi domestik maupun kontinental. Mereka jatuh ke peringkat 3, pertama kali setelah musim 2007/08, dan secara poin total lebih dekat ke peringkat 4 dibandingkan ke peringkat 2. Pada Champions League, mereka dibantai 5–2 secara agregat oleh PSG dan tersingkir pada babak 16 besar, pertama kali setelah musim 2006/07.

Namun, puncak sebenarnya dari kehancuran Barcelona terjadi pada musim panas 2021. Sebelumnya, saya sudah menjelaskan mengenai ambang gaji dan ketidakmampuan Barcelona dalam mendaftarkan pemain pada 2021. Hal ini juga membuat negosiasi perpanjangan kontrak Messi menjadi semakin pelik, bahkan sampai membuat Messi harus memotong gajinya sebesar 50 persen untuk dapat membuat pemain-pemain baru Barcelona dapat diizinkan bergabung dengan klub.

Keburukan sebesar biji zarrah akan mendapatkan balasan sebesar biji zarrah, dan keburukan setingkat institusional akan mendapatkan balasan setingkat insitusional juga. Setelah sebelumnya menemui kesepakatan, Messi terpaksa pindah karena rintangan struktural dan finansial yang diterapkan oleh La Liga. Akhirnya, mimpi buruk itu berubah menjadi kenyataan. Dua puluh satu tahun penuh magis itu dihancurkan oleh rentetan inkompetensi paling memalukan yang pernah dilakukan oleh sebuah institusi persepakbolaan.

Setelah memenangkan Copa America dan mengambil waktu selama sebulan untuk menentukan masa depannya, Messi memutuskan untuk bermain di Paris Saint-Germain (PSG), membentuk tiga serangkai dengan Neymar dan Mbappe. Kita belum pernah melihat akumulasi pemain dengan status mega bintang seperti ini sebelumnya. Media mulai menggadang mereka sebagai calon juara Champions League. Bandar mulai meninggikan odds kemenangan PSG di Champions League. Para pemain FIFA (karena e-Football ampas) memasang fatwa haram terhadap pemakaian PSG, yang mengingatkan kita pada perlakuan yang sama terhadap Adriano pada game PES 6.

Akan tetapi, PSG tidak mampu mencapai ekspektasi yang disematkan oleh khalayak ramai. Iya, mereka tetap digdaya di Liga Perancis, namun mereka mengalami kekalahan yang sangat telak pada babak ke-16 Liga Champions melawan Real Madrid. Setelah unggul agregat dua gol, kesalahan Gianluigi Donnarumma dan masterclass individual dari Karim Benzema membuat mereka kebobolan 3 gol dalam 17 menit, yang semuanya dicetak oleh, tidak lain tidak bukan…. Benzema itu sendiri.

Musim PSG kembali terhenti secara prematur, dan hal ini tidak dibantu oleh animositas media Perancis serta fans PSG. Messi menjadi bahan cemoohan paling keras dari fans PSG, serta sering dikritik secara tajam oleh pers Perancis, yang saking tajamnya sampai membuat mantan rekannya, Sergio Aguero dan Cesc Fabregas terdorong untuk membelanya.

Seharusnya hal ini tidaklah terjadi. Pemain yang datang 100 tahun sekali seperti Messi harusnya mendapatkan perpisahan paling megah ketika ia pensiun bersama Barcelona di masa depan. Semua itu buyar karena inkompetensi dari pemangku jabatan Barcelona. Karena mereka, Messi harus meninggalkan tempat di mana ia merasa disayangi, dan harus pindah ke tempat asing dengan orang-orang yang tidak percaya akan kemampuannya.

Pada artikel ini, kita akan membahas secara dalam mengenai proses-proses yang membuat Barcelona semakin jatuh — dan Liverpool semakin melesat ke atas, kegagalan PSG dalam Champions League pada musim ini, artikel bonus mengenai franchise NBA yang sedang naik daun, dan hukum statistik yang memiliki relevansi penting terhadap semua yang akan kita bahas.

Keseluruhan tidak sekadar jumlah dari bagian-bagiannya: Mengapa menumpuk pemain bintang merupakan usaha yang sia-sia untuk membangun tim juara

Bagian 1: Malam itu di Anfield

Liverpool bukan hanya menang melawan Barcelona di dalam lapangan, melainkan juga di luar lapangan.

Membangun sebuah skuad untuk setiap tahunnya merupakan sebuah tantangan yang besar dan cukup rumit. Jawabannya (dari membangun skuad dengan baik) adalah dengan tidak pernah mempunyai pemain lebih dari yang kamu butuhkan. Hal itu (mempunyai pemain bagus yang berlebih) memang akan membuatmu merasa lebih nyaman, namun kamu akan mempunyai masalah-masalah tambahan sepanjang tahunnya. — Jurgen Klopp

Ketika Barcelona unggul 3–0 secara agregat melawan Liverpool, janji Messi untuk membawa pulang kembali piala Champions League ke Camp Nou semakin mendekati kenyataan. Setelah musim lalu terkena comeback 0–3 melawan AS Roma, mereka semakin yakin bahwa tahun itu akan menjadi berbeda. Liverpool bermain tanpa Mohamed Salah dan Roberto Firmino yang sedang mengalami cedera, dan Barcelona bermain dengan kekuatan yang hampir penuh. Narasi itu semakin disempurnakan oleh keunggulan Ajax melawan Tottenham Hotspur, yang berpotensi menghasilkan final antar kedua tim yang terhubung oleh aliran sepak bola Johan Cruyff.

Pada 8 Mei 2019 di Anfield, semua hal buruk yang dapat dibayangkan oleh Barcelona berubah menjadi kenyataan. Setelah sebelumnya kebobolan oleh gol Divock Origi pada menit-menit awal, Barcelona semakin grogi dan kembali kebobolan oleh 2 gol cepat dari Giorgino Wijnaldum, dan untuk mempersuram hari mereka…. tersingkir karena keteledoran mereka dalam menjaga tendangan sudut. Esoknya, di Amsterdam, setelah sebelumnya unggul agregat 3–0 di half-time, Lucas Moura langsung kerasukan dan mencetak hattrick untuk mengunci kemenangan Tottenham, membawa mereka menuju final melawan Liverpool. Para klub Cruyffian yang awalnya unggul jauh secara agregat tiba-tiba membeku, sebelum akhirnya pecah berkeping-keping.

Keunggulan agregat Barcelona terhadap Liverpool, ternyata, juga kita dapatkan di rencana jangka panjang mereka. Setahun sebelumnya, pada tahun 2018 dan awal tahun 2019, mereka berhasil mendapatkan pemain-pemain berkualitas seperti Ousmane Dembele dan Philippe Coutinho, setelah sebelumnya menjual Neymar. Liverpool, sebaliknya, masih memiliki skuad yang terlihat jomplang sebelum mereka menjual Coutinho. Kedua klub mulai mengarungi masa depan yang tidak pasti. Namun, jika dilihat dari sisi Barcelona, mereka terlihat lebih memungkinkan untuk unggul dalam jangka panjang.

Untuk memulai pertarungan jangka panjang ini, kita akan berlabuh di Port of Liverpool terlebih dulu. Pada musim 2016–17, jauh sebelum Liverpool menjadi mesin pressing yang digdaya, mereka masih merupakan klub yang sangat bergantung pada kemampuan kreatif dari virtuoso mereka, Philippe Coutinho. Klopp sering menaruh Coutinho pada posisi sayap kiri dalam skema 4–3–3, di mana ia diberikan kebebasan dalam melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan, seperti menggocek dan mendribel ke tengah lapangan, melakukan umpan satu dua dengan Firmino, atau melakukan tendangan jarak jauh.

Kebebasan yang dimiliki oleh Coutinho terlihat jelas secara statistik. Ia menendang dari mana saja, dengan frekuensi tendangan yang sangat banyak. Selain itu, heat map dari Coutinho juga menunjukkan kecenderungan untuk mendominasi bola. Hal ini memberikan indikasi bahwa Coutinho merupakan pemain bervolume tinggi, di mana dia banyak memegang bola dan menciptakan peluang.

Perhatikan jumlah tendangan dan umpan kunci per 90 menit (masing-masing Sh90 dan KP90) yang dilesakkan oleh Coutinho

Maka, wajar saja jika kedatangan Coutinho memberikan rasa senang untuk Barcelona. Coutinho, di atas kertas, merupakan sebuah tambahan amunisi yang sangat kuat. Ia mampu menciptakan magis di atas lapangan, serta mempunyai statistik yang cukup mentereng. Bersama dengan Luis Suarez, Messi, dan Ousmane Dembele, Coutinho diharapkan dapat semakin memperkuat lini serang Barcelona. Akan tetapi, dalam olahraga tim seperti sepak bola, 20 ditambah 20 tidak menghasilkan 40.

Kita perlu mengingat perkataan dari Johan Cruyff, bahwa sepak bola dimainkan selama 87 menit tanpa bola dan 3 menit dengan dengan bola, dan 87 menit tersebut menunjukkan seberapa terampil seseorang dalam bermain bola. Saya, bersama Raihan, pernah menjelaskan tentang bagaimana transfer Philippe Coutinho adalah contoh utama dari bagaimana membeli pemain yang terlihat produktif di atas kertas bukan merupakan cara bijak untuk memperkuat sebuah klub secara jangka panjang.

Bisa dilihat bahwa volume serangan Coutinho semakin mengecil karena dia harus menyesuaikan permainannya dengan Messi, karena Messi merupakan pemain yang sangat dominan dalam memegang bola. Jika mengacu pada Barcelona pada musim 2010–11, mereka memanfaatkan dominasi Messi dengan menaruh penyerang di sektor sayap — atau sayap yang cerdas dalam berlari menuju kotak penalti, memanfaatkan atensi lawan yang teralihkan oleh kombinasi empat pemain di sektor tengah, yang biasanya meliputi Sergio Busquets, Xavi, Andres Iniesta, dan Messi.

Xavi menyebut ini dengan istilah fourth man, sebuah konsep yang meliputi membebaskan pemain yang menjaga kelebaran dengan mengalihkan perhatian lawan terhadap rangkaian umpan di sektor lain. Proses fourth man ini terbilang berhasil karena Barcelona diuntungkan oleh hadirnya Dani Alves, bek sayap yang mampu menyerang sebaik dia bertahan. Jika Coutinho mampu menjadi sayap modelan tersebut, Barca akan menjadi jauh lebih produktif dalam menyerang.

Masalahnya, Coutinho tidak mampu untuk berevolusi menjadi pemain yang dapat memberikan pengaruh pada timnya melalui pergerakan tanpa bola. Ia terlihat kebingungan dalam menyesuaikan permainannya dengan Messi, terutama dalam segi pergerakan. Saya membahas sedikit tentang bagaimana pemain dengan gaya bermain seperti Coutinho akan mengalami kesulitan ketika pindah ke klub yang lebih baik, dalam sebuah utas di Twitter.

Sekarang, kita coba periksa kembali keadaan di Merseyside. Liverpool, yang nampaknya kalah agregat dalam pertarungan jangka panjang melawan Barcelona setelah menjual Coutinho, secara bertahap berkembang menjadi salah satu skuad paling berbahaya di dunia. Dengan uang yang didapatkan dari penjualan tersebut, mereka langsung memperkuat lini belakang dengan membeli Virgil van Dijk, dan di musim depannya membeli Fabinho, gelandang bertahan yang memberikan rasa aman dengan awareness bintang lima, Alisson, sang kiper serba-bisa, Naby Keita, gelandang yang rentan cedera namun kalem ketika di-press oleh lawan, serta Xherdan Shaqiri, pemain eksplosif yang sedikit mengingatkan Kopites pada Coutinho dengan tendangan spekulatifnya, dan merupakan pelapis yang tepat untuk menambah pundi gol serta menghukum bek-bek yang kakinya sudah lelah.

Semua penambahan pemain tersebut membuat Liverpool menjadi tim yang jauh lebih solid secara keseluruhan. Hal ini juga bisa kita lihat pada statistik Liverpool pada musim 2018–19. Memang, tidak terdapat peningkatan signifikan terhadap angka produktivitas Liverpool dalam bertahan maupun menyerang. Expected goals dan expected goals allowed (xG dan xGA, parameter untuk melihat kualitas peluang yang mereka lesakkan atau hadapi) mereka hanya menjadi sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan musim 2017–18 (+2.5 untuk xG dan -3.2 untuk xGA). Jadi, untuk melihat perkembangan Liverpool yang sebenarnya, kita harus menelisik lebih dalam lagi.

Liverpool berhasil berkembang dengan menyeimbangkan aksi-aksi yang mereka lakukan di dalam lapangan. Dalam segi penyerangan, Salah dan Mane mengalami penurunan dalam jumlah tendangan (berturut-turut -0.69 dan -0.22) yang dilesakkan per 90 menit. Bisa dibilang, Salah harus mengorbankan volume tendangan yang membuatnya dapat mencetak 32 gol di Liga Inggris pada musim 2017–18. Pengorbanan ini menyebabkan Mane berhasil melesakkan tendangan di kotak penalti dengan lebih konsisten, karena penyerangan Liverpool lebih seimbang dalam sisi kanan maupun kiri. Posisi tendangan Mane pada musim 2018–19 pun jauh lebih terfokus pada sisi kiri dari kotak penalti.

Kontras peta tendangan dari Mane pada musim 2017–18 dan 2018–19
Kontras peta tendangan dari Mane pada musim 2017–18 dan 2018–19

Dalam segi bertahan, Liverpool berhasil menyeimbangkan pressing mereka. Karena Coutinho sering “berpetualang” di lapangan, Liverpool harus menutup ruang kosong yang sering ia tinggalkan, dan hal ini membuat Liverpool sering melakukan aksi bertahan di sektor middle third. Setelah Coutinho pergi, Liverpool mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam pressing di sektor middle third, karena mereka dapat melakukan pressing di sektor final third dengan lebih baik. Tentu saja, hal ini membuat sektor middle third Liverpool menjadi lebih sulit untuk diekspos, dan pada akhirnya Liverpool tidak perlu banyak-banyak melakukan tekel di sektor tersebut.

Juga dengan mengandalkan keseimbangan ini, Liverpool berhasil meningkatkan kualitas tendangan mereka ke arah gawang lawan, serta menjaga agar lawan mereka tidak mampu melesakkan peluang berbahaya menuju gawangnya. Bisa dilihat bahwa Liverpool meningkatkan performa xG dan xGA mereka melawan sebagian besar klub di Liga Inggris, terutama melawan tim Big Six.

Terakhir, hal ini merupakan aspek terpenting dari kebangkitan Liverpool, yaitu kontrol. Liverpool mengorbankan produktivitas mereka dalam menyerang, untuk semakin meningkatkan stabilitas dalam bertahan. Secara lebih detail, trio Mane, Salah, dan Firmino mampu untuk menjaga posisi mereka dengan lebih baik ketika menyerang, sehingga Liverpool semakin tidak kecolongan dalam fase transisi bertahan serta bertahan. Selain itu, lini pertahanan Liverpool juga diperkuat oleh van Dijk, Fabinho, dan Alisson. Maka, wajar saja jika mereka mengalami penurunan drastis dalam jumlah kebobolan gol.

Mungkin ada dari pembaca yang bertanya, mengapa sekarang patokannya lebih ke arah gol, dan bukan ke xG atau xGA? Menurut Barca Innovation Hub, seorang analis harus memfokuskan terhadap jumlah gol setelah 16 pertandingan, dibandingkan dengan xG, karena statistical noise (kebisingan/kerancuan statistik) antara xG dan gol semakin menipis, dan jumlah gol lebih menggambarkan realitas yang ada. Lagi pula, salah satu tugas penyerang adalah mengubah peluang yang ia dapatkan menjadi gol, bukan?

Bagi Liverpool, membangun sebuah tim yang kuat bukanlah mengenai kedigdayaan mereka dalam mencetak gol, melainkan mempunyai kontrol terhadap seluruh fase-fase permainan dalam sebuah pertandingan. Mengapa capek-capek mencetak 100 gol dan kebobolan 60 karena sering kecolongan dalam fase bertahan jika kamu dapat mencetak 70 gol dan kebobolan 30 karena pertahananmu jauh lebih stabil? Pada akhirnya, Liverpool dapat menjawab pertanyaan itu, dan menuntaskan comeback yang sesungguhnya melawan Barcelona.

Bagian 2: Mes que un club

Messi adalah identitas dari klub kami (Barcelona), akademi kami, dan cara kami bermain sepak bola. Tidak ada yang mampu menggoda kami untuk menjualnya. — Josep Maria Bartomeu

Bencana Barcelona belum berhenti sampai situ.

Politik adalah sepak bola, dan sepak bola adalah politik. Menurut David Easton, politik adalah alokasi nilai-nilai secara otoritatif untuk sebuah masyarakat. Terkhusus untuk Barcelona, mereka pernah menjadi simbol dari pembebasan Katalonia. Singkatnya, sebagian dari masyarakat Katalan merasa bahwa identitas Katalan mereka semakin menghilang setelah bergabung dengan Spanyol. Pada masa-masa tertentu, Barcelona mampu untuk memberikan gambaran samar mengenai pemberontakan terhadap masyarakat Katalan.

Pemberontakan paling terkenal yang pernah dilakukan oleh Barcelona adalah dengan mengintegrasikan Total Football pada ideologi mereka. Tokoh penting dari pemberontakan tersebut adalah pria blak-blakan dan berambut pirang yang bernama Johan Cruyff. Buah dari obsesi masyarakat Belanda terhadap ruang dan maraknya gerakan anti-kemapanan pada masa mudanya, Cruyff memiliki kepribadian yang seirama dengan masyarakat Katalan. Setelah bermain di Barcelona dan kemudian menjadi pelatih di sana, Cruyff berhasil menanamkan idenya pada kesadaran kolektif Barcelona. Mereka menjadi kiblat idealisme sepak bola bagi pengikutnya.

Perlahan-lahan, idealisme itu mulai hilang dan tergerus oleh perubahan zaman. Setelah melakukan kompromi terhadap aturan tanpa sponsor, yang mereka pegang teguh hingga 2006, dengan memasang sponsor UNICEF, sebuah organisasi kemanusiaan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Barcelona semakin membanting setirnya menuju derajat ke-180 dengan menggunakan sponsor Qatar Foundation. Hal ini menjadi kontroversial, mengingat sejarah Qatar dengan masalah kemanusiaan, khususnya pada perlakuan mereka terhadap buruh dari luar negeri.

Tak lama dari pada itu, friksi antar para socio, transfer setengah jadi, dan pemilihan manajer yang terlihat seperti sesuatu yang tidak direncanakan dengan matang semakin melunturkan nilai-nilai yang dipegang oleh Barcelona. Mes que un club (lebih dari sebuah klub), moto yang menunjukkan peran Barcelona sebagai ekstensi kehidupan dari masyarakat Katalonia, direduksi menjadi slogan yang tidak lagi malu-malu untuk menunjukkan wujudnya yang telah dikomodifikasi berulang kali, dan berevolusi menjadi punchline ironis yang kerap mengundang gelak tawa.

Mes que un club menjelma menjadi makna baru, yaitu peran Messi sebagai seseorang yang “lebih dari klub.” Setelah berkali-kali menghancurkan diri mereka melalui transfer dan langkah-langkah bisnis penuh bencana, Barcelona semakin membutuhkan jasa dari Messi, layaknya seorang pencandu narkoba yang secara eksponensial semakin membutuhkan isapan kokain agar dia merasa lebih bahagia. Akan tetapi, kebahagiaan itu hanya menjadi semakin semu, dan yang terlihat dari luar hanyalah delusi serta kesedihan yang mendalam.

Kisah ini dimulai dari terpecah belahnya trio Messi, Neymar, dan Suarez (MSN), salah satu trio terbaik dalam sejarah sepak bola, pada tahun 2017. Neymar memutuskan untuk menjadi bintang utama dan lepas dari bayang-bayang Messi dengan hengkang menuju PSG. Barcelona mendapatkan uang yang sangat banyak untuk kembali membangun tim sesuai dengan sistem permainan yang mereka ingin implementasikan.

Dengan tambahan amunisi seperti Ousmane Dembele, Paulinho, dan Coutinho (pada bursa transfer musim dingin), Barcelona tetap digdaya di La Liga, hampir mencapai rekor tak terkalahkan dalam semusim, dan pada akhirnya meraih gelar juara dengan selisih 14 poin terhadap peringkat kedua, Atletico Madrid. Tentu saja, Messi dan Suarez tetap menjadi duet maut, mendominasi total npxG+xA dari Barcelona. Terdapat loncatan besar terhadap persentase kontribusi npxG+xA dari Suarez menuju peringkat ketiga, yang secara mengejutkan bukan merupakan Dembele atau Coutinho, melainkan Paulinho.

Pada musim 2018–19, Barcelona memutuskan untuk tidak memakai jasa Paulinho dan membeli Arturo Vidal dari Bayern Munich. Selain Vidal, Barcelona juga mendapatkan jasa Arthur, gelandang pengatur tempo permainan dari Gremio, serta Clement Lenglet, bek solid dari Sevilla. Oh iya, saya lupa menyebutkan transfer termahal Barcelona pada musim itu, yaitu Malcom, sayap kanan yang hobi menggocek ke dalam dan melesakkan tembakan meriam.

Penambahan Malcom dengan harga yang cukup mahal merupakan pemilihan yang kurang masuk akal —agen Malcom juga mengatakan bahwa transfer ini terjadi sebagai balas dendam atas perilaku dari perawakilan AS Roma, yang membuat transfer ini semakin konyol. Messi tidak tergantikan di sayap kanan, Coutinho tidak cocok untuk bermain di sayap kiri, dan Dembele mampu bermain di kedua sisi sayap (namun sering cedera). Lantas, bukannya memperkuat sayap kiri dengan pemain yang mampu menyambut bola dari Messi merupakan pilihan yang logis? Tapi, ya sudahlah. Namanya saja Barcelona.

Messi dan Suarez (yang performanya sedikit menurun) tetap memuncaki 2 posisi teratas. Jauh di bawah Suarez, Coutinho dan Dembele mulai mengumpulkan pundi npxG+xAnya di Barcelona. Tapi, selain itu, kita mulai melihat bahwa Barcelona kekurangan opsi serangan, baik dari penyerang, gelandang, maupun pemain cadangan untuk menambah pundi npxG+xA mereka. Dan ya….. Malcom hanya berkontribusi sedikit. Cerdas Barcelona… cerdas.

Dengan lini depan yang itu-itu saja, transfer yang kurang tepat, dan memiliki sedikit pemain yang mampu memberikan daya gedor, Barcelona langsung mengalami penurunan performa gol dan xG yang cukup drastis. Namun, untuk kedepannya, Barcelona bakal belajar dari kesalahan mereka, dan tentunya situasi ini tidak bakal menjadi lebih buruk, bukan?

Menjawab pertanyaan itu dengan jawaban iya atau tidak tidaklah seru. Kita langsung saja meloncat pada musim 2019–20, salah satu musim paling aneh dalam sejarah Barcelona, seaneh kaos home mereka yang lebih terlihat Kroasia dari pada Katalonia. Pertama, mereka mengamankan transfer Antoine Griezmann dengan bandrol 125 juta euro. Iya, Griezmann yang tahun lalu dengan susah payah membuat dokumenter yang menyatakan bahwa dia akan tetap bermain di Atletico Madrid, meskipun dikejar terus menerus oleh Barcelona.

Ini merupakan transfer paling lucu yang pernah dilakukan oleh Barcelona, karena (1) mereka terlilit hutang yang besar, (2) Griezmann merupakan pemain yang beroperasi di belakang striker selama di Atleti, dan (3) ia sering dimainkan di sayap kiri, padahal sudah jelas kalau posisinya bukan di situ, serta yang jauh lebih lucu lagi adalah Barcelona sering bermain dengan Coutinho di sayap (mereka butuh sayap murni, ya Tuhan!).

Argumen yang setidaknya terdengar setengah logis adalah Griezmann disiapkan untuk menggantikan Suarez secara jangka panjang. Masalahnya, Messi dan Griezmann sama-sama sering berpetualang di lapangan, sehingga salah satu dari mereka harus mengorbankan diri layaknya Coutinho, dan tentu saja yang dikorbankan adalah Griezmann. Selain itu, Barcelona tidak punya sayap murni — selain Dembele yang cedera sepanjang musim — untuk dapat menyerang ruang yang diciptakan oleh Messi dan Griezmann, yang sering mundur ke belakang dan berkombinasi.

Klub seinkompeten Barcelona seharusnya menjadi klub terakhir yang berhak mendapatkan berkah dari langit. Namun, mereka mendapatkan bijih berlian dari La Masia, seorang sayap bernama Ansu Fati. Meskipun baru berumur 17 tahun, Fati memiliki kecerdasan, teknik, dan fisik yang jauh melampaui usianya. Ia mampu untuk berlari melewati lawan, menggocek, melakukan playmaking dari sayap, maupun berlari ke kotak penalti untuk memanfaatkan pergerakan Griezmann.

Di sisi lain, Suarez semakin menunjukkan penurunan dalam permainannya. Ia tidak lagi mampu untuk mengikuti tempo permainan Barcelona secara maksimal, karena fisiknya yang semakin rapuh termakan usia. Oleh karena itu, Suarez semakin sering dijadikan opsi rotasi dengan Griezmann, dan lebih sering duduk di bangku cadangan.

Pembelian pemain yang kembali tidak tepat, kurangnya gelandang yang mampu menciptakan peluang (selain Frenkie de Jong tentunya, dan dia lebih bagus dimainkan menjadi pivot kiri), serta kurangnya opsi sayap selain Fati yang mampu untuk menjaga kelebaran dan memanfaatkan kemampuan Messi dan Griezmann dalam menciptakan overload menyebabkan Barcelona mengalami kekurangan dalam variasi serangan. Alhasil, npxG+xA Barcelona semakin menurun, jika dibandingkan dengan musim sebelumnya.

Musim 2020–21 bisa dibilang merupakan musim uji coba bagi Barcelona. Mereka menjual beberapa pemain kuncinya, seperti Vidal, Suarez, Arthur, Rakitic, dan Nelson Semedo untuk memangkas kelebihan gaji. Di sisi lain, mereka sudah mengamankan transfer Pedri sejak 2019, dam hanya membeli 3 pemain pada bursa musim panas 2020, yaitu Francisco Trincao, Sergino Dest, dan Miralem Pjanic (hasil pertukaran dengan Arthur).

Meskipun Barcelona mulai menemukan formula bermain yang tepat, yang biasanya berupa 4–2–3–1 dengan Dembele, Pedri, dan Messi bermain di belakang Griezmann. Adanya Pedri sangat membantu kemampuan Barcelona dalam menyerang, karena ia merupakan seorang gelandang serba bisa yang mampu untuk beradaptasi dengan kebutuhan Messi, Dembele, dan Griezmann. Selain itu, Frenkie juga kembali ke posisi kesayangannya, yaitu pivot kiri. Dengan ini, dia mampu leluasa untuk maju ke depan, karena celah yang ia tinggalkan dapat dilindungi oleh Busquets. Alhasil, produksi serangan Barcelona menjadi lebih teratur.

Akan tetapi, cuci gudang Barcelona juga memberikan dampak yang cukup negatif. Hilangnya Vidal, Arthur, dan Suarez sangat memengaruhi kemampuan Barcelona untuk mengubah peluang mereka menjadi gol. Fati, salah satu penyerang paling klinis pada musim lalu, cedera panjang pada tengah musim, sehingga beban Barcelona dalam mencetak gol semakin diberikan pada Messi. Alhasil, meskipun xG Barcelona semakin meningkat, mereka tidak mampu untuk mengubah peluang tersebut menjadi gol.

Jika disimpulkan, messidependencia (ketergantungan Barcelona terhadap Messi) sebenarnya berpusat pada kegagalan Barcelona untuk menentukan sistem yang tepat dalam menyokong kemampuan Messi, serta dalam menentukan pemain yang dapat menyesuaikan permainannya dengan Messi. Hal ini berlangsung secara bertahap dan mencapai puncaknya pada musim 2019–20, yang semakin diperparah dengan perubahan manajer dengan sistem permainan yang berbeda (Valverde ke Setien). Namun, pada musim 2020–21, Barcelona setidaknya mampu untuk kembali menyeimbangkan skuadnya, sehingga kualitas peluang mereka semakin meningkat.

Satu hal yang mungkin juga akan saya tekankan adalah Messi tidak sepenuhnya suci dari masalah ini. Secara umur, Messi semakin menua dan produktivitasnya dipastikan akan menurun selama beberapa tahun ke depan. Maka, Barcelona memiliki beban pikiran baru untuk menentukan proyek jangka pendek, sedang, dan panjang mereka; mereka harus membangun skuad yang bukan hanya pas dengan kemampuan Messi, melainkan juga seimbang, sehingga mereka dapat bertahan meskipun Messi harus hengkang dari Barcelona.

Messi lebih dari Barcelona; ia adalah manifestasi dari hal-hal terbaik yang dimiliki oleh klub ini. Namun, apa yang berlebihan tidak selamanya baik. Mungkin, berpisah adalah jalan yang terbaik bagi kedua pihak, untuk masa depan mereka.

Bagian 3: Jika ingin meukan sportswashing, lakukanlah dengan cerdas!

Kami membangun sebuah struktur untuk masa depan, bukan hanya tim penuh bintang. — Sheikh Mansour

Semua orang punya rahasia kotor, baik dalam skala kecil seperti diam-diam melakukan masturbasi, maupun skala besar, seperti mempunyai….. sederet rekor pelanggaran hak asasi manusia. Terdapat banyak cara dalam menutupi rahasia-rahasia ini, namun pada dasarnya hampir semua orang berpikir untuk menjaga imej mereka setidaknya melalui suatu cara. Jika kamu kebetulan mempunyai uang yang banyak dan perusahaanmu juga didanai oleh pemerintah, klub sepak bola merupakan media yang tepat untuk membangun imejmu.

Ciptakan brand sepak bola aduhai dengan membeli klub di pusat budaya dunia, kumpulkan pemain kelas dunia, dan raihlah banyak piala agar pamormu semakin meningkat…. mudah bukan? Hal ini sering disebut sebagai sportswashing, istilah yang diserap dari gabungan antara kata sports dan brainwashing. Intinya, mengalihkan perhatian masyarakat dari dosa yang kamu lakukan dengan menggelontorkan dana terhadap suatu institusi olahraga, dan berusaha untuk membangun institusi tersebut menjadi suatu institusi kelas dunia agar dunia semakin terbuai dan lupa akan dosa tersebut.

Bagi Nasser al-Khelaifi, pemilik Qatar Sports Investments dan PSG, jalan tersebut ternyata lebih terjal dari yang ia kira. Ligue 1 bukanlah liga yang mempunyai pendapatan raksasa, sehingga mereka harus memenangkan sebuah kompetisi lain untuk dapat meningkatkan pamor mereka di seluruh dunia, yaitu UEFA Champions League. Dalam mencapai target tersebut, strategi PSG sangat sederhana. Mereka melakukan apa yang kita biasa lakukan ketika bermain Master League atau Career Mode…. membeli pemain terhebat di dunia dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pemasukan dari liga 5 besar di Eropa

Sebelum saya lanjut menuju strategi membangun tim PSG yang buruk, saya akan menjelaskan tentang strategi sportswashing yang sukses, yaitu Sheikh Mansour dengan Manchester City. City, khususnya City Football Group, berhasil memperluas brand mereka di dunia, dengan melakukan akusisi terhadap klub-klub lainnya di berbagai belahan dunia. Secara internal, Manchester City merupakan tim yang memiliki operasional kelas dunia. Tidak hanya menggelontorkan dana untuk mendapatkan pemain bintang dan Pep Guardiola, mereka juga menciptakan lingkungan di mana Pep mampu membentuk tim sesuai dengan visinya. Alhasil, City mampu secara konsisten menguasai Premier League, meskipun mereka dikejar secara sengit oleh tim-tim lainnya, terutama Liverpool.

Paris Saint-Germain, sebaliknya, asal-asalan membeli pemain dan memilih pelatih mereka, tanpa memikirkan implikasi yang akan terjadi di masa depan. Alhasil, terdengar kabar simpang siur bahwa ruang ganti PSG terbagi menjadi beberapa faksi, yang membuat pelatih sedisiplin Thomas Tuchel pun harus melakukan kompensasi untuk memuaskan mereka — ia merasa lebih seperti menteri olahraga dibandingkan sebagai pelatih di PSG.

Jika mengacu pada kesuksesan Real Madrid, tim yang sepanjang sejarahya memiliki hubungan erat dengan otoritas, serta memiliki strategi yang sama dengan PSG dalam membeli pemain, mereka memiliki pelatih-pelatih yang fleksibel dalam sistem dan lihai dalam mengendalikan ego pemainnya, seperti Zinedine Zidane dan Carlo Ancelotti. Paris Saint-Germain dapat meniru pendekatan ini, agar mereka mampu memaksimalkan skuad jomplang yang mereka punya.

Lucunya, PSG malah memilih Mauricio Pochettino, pelatih yang berpengalaman dalam meningkatkan kepercayaan diri dari pemain muda, dan mempunyai campuran gaya bermain antara build-up dari belakang dan pressing yang ganas, namun bukan pelatih yang tepat untuk mengatur ego dari ruang ganti PSG. Selain itu, terlihat juga bahwa pemain yang dimiliki oleh Pochettino bukan merupakan pemain yang sesuai dengan sistemnya. Akan tetapi, kalau timmu punya Messi, Neymar, dan Mbappe sebagai tiga ujung tombak, semuanya bakal baik-baik saja, kan?

Singkatnya…. tidak.

Meskipun memiliki penyerang sekaliber Messi, Neymar, dan Mbappe, PSG malah mengalami kemunduran dalam produktivitas serangannya. Expected goals selain tendangan penalti dan xA dari trio Messi, Neymar, dan Mbappe merupakan yang terkecil di antara trio penyerang lainnya (dengan npxG+xA per 90 menit tertinggi di skuadnya) selama 5 tahun terakhir.

Tak hanya itu, PSG juga mencatatkan nilai npxG+xA per 90 menit (memakai per 90 menit karena musim ini belum selesai) terendah dalam 5 tahun terakhir pada musim 2021–22. Hal ini nampaknya disebabkan oleh komposisi penyerang yang dimiliki oleh PSG. Pada musim 2019–20, terdapat 6 penyerang PSG yang menjadi kontributor npxG+xA terbesar, dan pada musim 2021–22 hanya terdapat 4 penyerang yang memberikan kontribusi terbesar. Achraf Hakimi, bek sayap yang mampu bermain layaknya penyerang sayap mungkin dapat menjadi sudut pandang alternatif mengenai hal ini. Namun, hal ini tidak mampu menutupi fakta bahwa PSG kekurangan opsi yang mumpuni pada lini serang.

Paris Saint-Germain terus mencetak gol, namun terlihat bahwa kualitas tembakan yang mereka lesakkan semakin menurun. Paris Saint-Germain mencatatkan lebih performa xG (ketika gol melebihi jumlah xG yang dicetak) per 90 menit terbesar kedua setelah musim 2018–19. Messi, Neymar, dan Mbappe mampu meningkatkan kualitas peluang PSG dengan signifikan, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa PSG mengalami penurunan dalam produksi xG (angka di setiap poin grafik), karena kekurangan opsi serang.

Hadirnya Messi juga membuat Pochettino pusing tujuh keliling dalam merumuskan struktur bertahan PSG. Selama 5 tahun terakhir, PSG memang terkenal dengan mengorbankan pressing lini depan mereka, untuk memaksimalkan peran pemain bintang mereka. Namun, PSG membawa pengorbanan ini menuju level yang baru. Pada musim ini, PSG mengorbankan Angel Di Maria, seorang sayap pekerja keras — terutama di final third — untuk Messi, yang terkenal hampir selalu berjalan di atas lapangan. Alhasil, PSG memiliki tiga penyerang yang jarang melakukan pressing.

Oleh karena itu, sudah dipastikan bahwa PSG akan memiliki masalah dalam segi pressing. Secara lebih spesifik, permasalahan pressing PSG terletak di kualitas, bukan kuantitas. Jika dibandingkan dengan musim lalu, tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap jumlah maupun proporsi pressing PSG pada musim ini. Akan tetapi, pada musim ini, PSG mengalami kegagalan tertinggi dalam menyukseskan pressing mereka, yang disebabkan oleh ketidakmampuan ketiga penyerang tersebut untuk melakukan pressing dan menutup ruang kosong di belakang mereka secara optimal.

Kegagalan dalam melakukan pressing dengan baik menyebabkan lini pertahanan akhir PSG lebih terekspos dan harus menerima 1.03 xGA per 90 menit, terbesar dalam 5 tahun terakhir. Kualitas bek yang dimiliki oleh PSG mampu untuk membuat mereka tidak kebobolan banyak. Akan tetapi, upaya bertahan yang mereka lakukan masih terbilang jauh dari musim 2020–21.

Sebelum saya menjelaskan mengenai performa mereka di Champions League, perlu diingat bahwa turnamen dengan fase knockout memiliki kebisingan statistik yang tinggi (maksimal 7 pertandingan dalam fase knockout), serta memiliki marjin menang-kalah yang jauh lebih tipis. Hal ini cukup mirip dengan Playoffs di NBA, yang memiliki pertandingan lebih sedikit dan pertaruhan yang lebih tinggi pula. Menurut Seth Partnow, mantan Direktur Riset Bola Basket di Milwaukee Bucks, dalam bukunya yang berjudul The Midrange Theory:

Pemain 16-pertandingan (pemain yang performanya sangat krusial pada saat Playoffs) harus melakukan hal terbaik yang mampu mereka lakukan ketika melawan yang terbaik (lawan di Playoffs). Ketika pemain tersebut ditemukan tidak dapat melakukan hal tersebut, semuanya seringkali sudah terlambat, baik untuk mereka (pemain tersebut) dan tim mereka.

Bagi pembaca yang memiliki privilese untuk menonton pertandingan leg 2 semifinal antarai Real Madrid dan Manchester City, pembaca pasti dibuat mangap oleh kemampuan para pemain Real Madrid dalam memutarbalikkan keadaan, pada saat hampir seluruh penonton (selain fans Real Madrid) sudah yakin bahwa Real Madrid akan kalah pada pertandingan tersebut. Luar biasanya, mereka melakukan hal ini dalam 3 babak berturut-turut (PSG, Chelsea, dan City)!

Ancelotti merupakan pelatih yang terkenal membiarkan pemainnya menampilkan bakat mereka secara leluasa pada saat menyerang. Kurang lebih seminggu yang lalu, ia menjelaskan tentang metodenya:

Saya berusaha untuk menjaga hal-hal (yang dapat diatur) sesederhana mungkin. Ada 2 aspek (dalam sepak bola): bertahan dan menyerang. Kreativitas dan organisasi. Saya rasa saya mampu mengembangkan kemampuan pemain dalam aspek bertahan. Aspek menyerang berhubungan dengan bakat, dan saya tidak ingin “mengaburkan” bakat ini. Saya tidak mampu mengajarkan Karim (Benzema) tentang bagaimana caranya berdiri di area kotak penalti, atau Modric tentang bagaimana caranya mengumpan.

Dengan menekankan aspek bakat, serangan Real Madrid menjadi lebih sulit untuk diprediksi oleh lawan, jika dibandingkan dengan tim lain yang mempunyai strategi “di atas kertas” dalam menyerang. Sesuai dengan kata Partnow, para pemain harus dapat mengerahkan kemampuan terbaik mereka di ajang sebesar ini. Sisanya adalah sejarah. Seluruh tim yang mengira bahwa mereka sudah mengalahkan Madrid langsung dibayar kontan oleh kemampuan mereka dalam menciptakan peluang “jatuh dari langit.”

Contoh yang paling brilian adalah ketika Manchester City sedang memegang momentum pertandingan pada saat leg 1. Secara tiba-tiba, Vinicius langsung mengolongi Fernandinho, melakukan solo run dari tengah lapangan, dan melakukan finishing dengan kalem. Seharusnya Manchester City bisa menang besar, namun mereka malah menang tipis dengan skor 4–3. Pada leg 2, setelah unggul agregat dengan selisih 2 gol pada menit ke-89, City langsung kebobolan 2 gol dalam 2 menit oleh penampilan Tuan Champions League terbaru, Rodrygo, dan pada akhirnya tersingkir! Seakan-akan Real Madrid bilang, “persetan dengan persiapan merepotkan dan konsistensi permainanmu, karena ujung-ujungnya kami yang akan menang!”

Paris Saint-Germain merupakan kebalikan dari Real Madrid. Setelah unggul agregat 2–0 di leg 2 babak ke-16 Champions League melalui gol Mbappe, Real Madrid menjebol gawang mereka 3 kali dalam kurun waktu 16 menit. Gol pertama berbuah dari kesalahan Donnarumma, gol kedua berbuah dari kesalahan Marquinhos yang tidak menjaga Benzema dengan baik, dan gol ketiga berbuah dari kesalahan Marquinhos dalam membuang bola.

Hal ini terlihat di data, bahwa mereka kebobolan lebih banyak dari kualitas peluang yang mereka terima. Selain itu, PSG juga tidak mampu untuk mengubah peluang berkualitas yang mereka dapatkan menjadi gol. Tentu saja, data ini memiliki sampel yang terlalu kecil untuk menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Akan tetapi, hal ini dapat menggambarkan sedikit tentang bagaimana pemain PSG tidak dapat bermain secara maksimal dalam dua pertandingan melawan Real Madrid, dan pada akhirnya mereka harus membayar kesalahan mereka. Sekali lagi, perkataan dari Partnow terbukti benar.

Pada akhirnya, kesalahan dalam membeli pemain membuat PSG tidak mampu untuk membangun tim yang solid dan kompetitif. Hadirnya Messi malah membuat opsi serang mereka semakin tidak seimbang, dan secara tidak langsung juga membuat PSG semakin buruk dalam bertahan. Dalam Liga Champions, ketidakmampuan PSG untuk mengerahkan performa terbaiknya pada saat-saat krusial juga membuat mereka tidak mampu untuk lolos dari babak 16 besar. Sebuah kekalahan yang telak untuk sportswashing, dan kemenangan simbolik untuk sepak bola.

Bagian 4 (bonus): Monty Williams dan Pengkhotbah 4: 9–10

Mengutip dari Pengkhotbah 4: 9–10, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” — Monty Williams

Phoenix Suns bangkit dari abu kekalahan (maaf karena dengan setengah hati menggunakan kata kiasan). Setelah tidak pernah mencapai Playoffs selama 10 musim, mereka langsung mencapai NBA Finals, meskipun kalah melawan Milwaukee Bucks. Musim selanjutnya, Suns mencatatkan rekor kemenangan terbesar sepanjang sejarah franchise mereka, yaitu 64–18. Hal ini tak lepas dari buah tangan Monty Williams, mantan pelatih kepala dari New Orleans Pelicans dan asisten pelatih dari Philadelphia 76ers. Gaya kepelatihan Williams merupakan kombinasi yang pas antara disiplin, kecerdasan, dan kerendahan hati, yang mampu membuat para pemain Suns menjadi kelompok yang lapar akan mengembangkan diri mereka untuk meraih tujuan bersama.

Kohesi dari Suns juga terlihat di atas lapangan. Dan Devine, penulis di The Ringer menjelaskan dua kalimat yang dapat menggambarkan Suns secara sempurna:

Suns dapat menang dengan fisik maupun kecerdasan, dengan mengeksekusi aksi-aksi yang rumit maupun dengan tanpa ampun menyerang titik lemahmu, dengan melawan api dengan api maupun menghambat aliran airmu. Mereka mempunyai kedalaman (skuad), keterampilan, kesiapan, berjuang tanpa henti, dan penuh dengan kepercayaan.

Suns bukan merupakan tim yang penuh dengan pemain bintang; satu-satunya pemain yang menembus batas 20 poin per permainan adalah Devin Booker. DeAndre Ayton merupakan center yang sangat solid dalam pertahanan dan post play, namun masih satu tingkat di bawah center seperti Joel Embiid atau Nikola Jokic. Chris Paul mungkin mempunyai argumen sebagai pemain kelas atas, yang mempunyai kemampuan langka untuk meningkatkan performa tim level lottery menjadi level playoffs, dan tim playoffs second round menjadi championship contender.

Namun, komposisi tim mereka sangat lengkap. Mereka mempunyai Mikal Bridges, forward yang memiliki case untuk menjadi DPOY dan tetap mampu untuk berkontribusi pada sektor menyerang, Jae Crowder sebagai pemain 3-and-D (pemain yang mampu bertahan dan melesakkan 3 poin), Cameron Payne yang mampu menjadi pelapis Paul yang solid, Cam\ Johnson, pemain yang mampu untuk memberikan penetrasi menuju paint serta memiliki jumpshot yang cukup konsisten, Javale McGee, center yang mampu untuk memanfaatkan kemampuan atletisnya, baik dalam fase bertahan maupun menyerang, serta role player lainnya seperti Landry Shamet, Aaron Lundberg, serta Torey Craig, yang mampu untuk menambah dimensi baru pada permainan Suns.

Susunan pemain Suns yang beragam dalam segi variasi dalam permainannya memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap konsistensi Suns, karena menguasai seluruh aspek permainan di lapangan merupakan suatu penanda bahwa sebuah tim mampu untuk meraih gelar juara. Dalam perjalanannya, sebuah tim harus mengalahkan 30 tim dengan gaya bermain yang berbeda, serta sudah mempersiapkan cara-cara spesifik untuk menetralisir kekuatan tim tersebut. Pada saat Playoffs, tim cenderung jauh lebih berhati-hati dalam bertahan dan menyerang, karena pada tahap ini marjin menuju kemenangan menjadi lebih sempit.

Maka, sudah menjadi keniscayaan suatu tim dan pemain-pemainnya akan mengalami jatuh bangun dalam perjalanan menuju kemenangan. Jatuh bangun ini memiliki wujud yang beragam, tergantung dengan situasi-situasi yang mereka temui selama perjalanannya. Suatu tim yang memiliki set play yang cerdas bisa saja tersandung ketika set play mereka dibaca oleh lawan yang cerdas dalam bertahan. Suatu tim yang mempunyai pertahanan yang bagus bisa saja sedang menghadapi pemain yang “kerasukan” dan sedang on fire dalam melesakkan tembakannya.

Monty Williams, penganut agama Kristen yang taat, mengaplikasikan Pengkhotbah 4: 9–10 terhadap Suns. Jika Suns mengalami masalah dengan set play-nya, Booker mampu menciptakan tembakan dari situasi sulit. Jika Suns butuh kecepatan, Paul mampu untuk melakukan magisnya dalam transisi. Jika DeAndre Ayton atau Javale McGee tidak tampil karena cedera, pertahanan zonal cerdas dari para pemain Suns mampu untuk setidaknya menjaga paint mereka. Jika lawan dengan giat menjaga agar Suns tidak mampu melesakkan 3-pointer, pergerakan dari para pemain Suns mampu menarik perhatian lawan dari cut Mikal Bridges atau Cam Johnson menuju rim. Mereka selalu mempunyai cara untuk menutupi kelemahan dan memaksimalkan kelebihan yang mereka miliki.

Phoenix Suns yang kita lihat sekarang bukan hanya merupakan buah dari kerja keras yang dilakukan oleh pemainnya. Mereka juga ditanam dari bibit berkualitas bernama kecerdasan. Kecerdasan dalam merancang skuad, serta institusi secara keseluruhan menumbuhkan pohon yang memiliki batang yang kokoh, daun yang hijau, bunga yang cantik, dan pada akhirnya, buah-buah yang manis.

Bagian 5: Hukum Goodhart

Segala regularitas statistika yang bisa diobservasi cenderung jatuh (kehilangan signifikansinya) ketika mereka digunakan untuk kepentingan kontrol. — Charles Goodhart

Pada tahun 1975, sebuah artikel yang ditulis oleh Charles Goodhart meraih popularitas yang cukup besar. Isi dari artikel itu dominannya mengritik pemerintahan Margaret Thatcher, yang menggunakan broad and narrow money sebagai patokan kebijakan moneter mereka. Meskipun konsep yang Goodhart sampaikan sudah diteliti sejak dulu, Goodhart berhasil membawa konsep tersebut menuju ruang lingkup pengambilan keputusan yang lebih luas, terutama mengenai rekrutmen.

Inti dari Hukum Goodhart adalah penggunaan sebuah tolak ukur sebagai sebuah patokan akan menurunkan validitas tolak ukur itu sendiri. Saya akan mengambil contoh sederhana, yaitu mengenai penggunaan IPK sebagai patokan terhadap seberapa dalam seseorang dapat menguasai materi yang ia pelajari. Jika seseorang benar-benar ingin mengejar IPK sempurna, maka ia akan menerapkan strategi-strategi seperti aktif dalam sesi tanya-jawab di kelas, menghapal materi yang dibaca dari buku, secara aktif mengikuti tugas kelompok, dan strategi lainnya.

Akan tetapi, kita tetap tidak tahu apakah ia benar-benar memahami materi tersebut, karena bisa saja dia melakukan strategi-strategi tersebut hanya untuk “mendongkrak” nilainya, dan/atau melupakan materi yang ia pelajari setelah semester itu selesai, karena strategi yang ia lakukan adalah menghapal istilah saja, tanpa memahami isi materi tersebut sama sekali. Alhasil, tolak ukur IPK tersebut menjadi tidak mampu untuk menjelaskan mengenai pemahaman seseorang mengenai materi tersebut.

Saya akan membawa konteks tersebut pada olahraga tim. Bayangkan jika timmu adalah sebuah tim medioker yang baru saja membeli seorang pemain, karena ia mampu melakukan segalanya. Anggap saja namanya LioNaldo de BruDijkZema. Pemain ini mampu mencetak gol, melakukan playmaking, lihai dalam menggocek lawan, melakukan intersep dengan cemerlang, mampu menjaga ruang yang luas, serta selalu clutch di pertandingan akbar. LioNaldo menjadi pemain terhebat di dunia, dan performa rekannya meningkat, namun mereka tetap tidak mampu untuk menjadi tim langganan juara.

Sekarang bayangkan jika LioNaldo de BruDijkZema mengalami fragmentasi, dan berubah menjadi sebuah skuad yang utuh. Terdapat pemain yang mempunyai kemampuan individual berbeda seperti mencetak gol, melakukan playmaking, lihai dalam menggocek lawan, melakukan intersep dengan cemerlang, mampu menjaga ruang yang luas, serta selalu clutch di pertandingan akbar. Semua pemain melakukan perannya dengan baik, dan tim tersebut menjadi tim langganan juara. Karena kesuksesan sebuah tim olahraga sangat ditentukan oleh kohesi antarpemain, situasi hipotetikal kedua merupakan situasi yang jauh lebih realistis.

Kita sudah membahas secara dalam mengenai bagaimana pengambilan keputusan dalam rekrutmen dapat menentukan takdir dari berbagai macam klub atau franchise, dan hal ini berhubungan dengan cara membangun sebuah skuad. Dalam sisi positif, kita melihat Liverpool dan Suns yang mampu melakukan transformasi menjadi tim kompetitif, karena mereka mengumpulkan pemain yang relevan dengan konsep permainan yang mereka inginkan. Sebaliknya, dalam sisi negatif, kita melihat Barcelona dan PSG yang asal-asalan membeli pemain dan merusak sistem permainan mereka secara keseluruhan.

Jika dilihat melalui lensa Hukum Goodhart, klub yang dengan sengaja mengincar pemain dengan gol dan asis yang banyak justru akan membuat parameter gol dan asis tersebut menjadi tidak berguna. Coutinho mendapatkan gol dan asisnya dengan memegang bola secara dominan. Jika gaya permainan ini diterjemahkan pada sistem Barcelona, yang mana peran tersebut sudah dipegang oleh Messi, Coutinho harus memanfaatkan kemampuannya yang lain untuk menyokong kemampuan Messi, seperti positioning, lari menuju ruang kosong, kombinasi dalam ruang sempit, atau menguasai pausa (mengatur tempo dribel). Pemanfaatan kemampuan ini juga membuat Coutinho harus memangkas produktivitas dia di atas lapangan. Seketika, parameter gol dan asis itu semakin tenggelam di belakang layar.

Selain Coutinho, Barcelona juga melakukan kesalahan yang sama dengan membeli pemain dengan statistik mentereng seperti Griezmann. Griezmann merupakan pemain yang luar biasa dalam memanfaatkan celah di antara baris pertahanan lawan, memiliki skill finishing yang bagus, mampu melakukan kombinasi dengan rekannya, serta mampu menciptakan ruang bagi rekannya. Akan tetapi, Barcelona butuh pemain yang mampu untuk menjaga kelebaran, sehingga Messi dan Suarez memiliki opsi umpan tambahan ke sisi kiri. Adanya Griezmann hanya membuat Barcelona kelebihan opsi di sektor tengah, dan merusak keseimbangan tim. Karena hal ini, parameter statistik yang digunakan untuk membeli Griezmann menjadi tidak berguna.

Begitu juga dengan Messi di PSG. Bermain dengan Neymar dan Mbappe tidak serta merta membuat performa PSG menanjak, karena mereka harus mengorbankan struktur bertahan dan menyerang, serta opsi serangan mereka. Paris Saint-Germain berpikir bahwa Messi mampu untuk memberikan 38 gol dan 14 asis, seperti yang ia lakukan di Barcelona. Namun, Messi tidak mendapatkan kendali penuh, yang sebelumnya ia dapatkan di Barcelona, ketika bermain di PSG. Dia harus berbagi dengan Mbappe dan Neymar, dan karena mereka tidak mampu melakukan pressing dengan maksimal, PSG harus bekerja ekstra keras untuk kembali membangun serangan. Dengan ini, parameter gol dan asis Messi menjadi tidak berguna.

Contoh yang tepat dalam penggunaan Hukum Goodhart bisa dilihat pada Liverpool. Mereka menggunakan data sebagai interpretasi dari hal yang ingin mereka lihat di lapangan, dan bukan sebagai target. Van Dijk bukan pemain yang banyak melakukan tekel, namun ia merupakan pemain yang mampu untuk menahan pergerakan lawan dan membawa mereka ke area tidak berbahaya. Mane tidak mampu mencetak gol sebanyak Coutinho pada musim 2016–17, namun dapat menjaga kelebaran serta berlari ke belakang lini pertahanan lawan, serta merangsek ke tengah lapangan. Dengan ini, Mane mampu mendapatkan peluang yang lebih berkualitas, sehingga ia mampu mencetak 22 gol pada musim 2018–19. Liverpool mengerti penggunaan data, yaitu sebagai gambaran dari apa yang pemain lakukan di lapangan yang telah disimplifikasi, dan bukan sebagai patokan satu-satunya yang dipakai ketika merekrut pemain.

Dengan ini, Hukum Goodhart memberikan hikmah yang cukup bermaknya tentang bagaimana sebuah klub atau franchise dapat mengalami kesuksesan atau kegagalan dalam merekrut pemain, yang pada akhirnya berhubungan dengan pembangunan sebuah skuad. Dalam penggunaan data, interpretasi yang tepat adalah rajanya.

Epilog: Bersih-bersih di Katalonia

Saya telah berterus terang dengan Joan Laporta (presiden Barcelona) bahwa Barcelona harus diperkuat dalam jangka pendek dan jangka sedang (…) kita harus meningkatkan (kekuatan) skuad, terutama dalam segi menyerang (…) Membangun sebuah tim bukanlah suatu hal yang mudah. — Xavi

Setelah kepergian Messi, Barcelona semakin tenggelam. Mereka jatuh menuju fase terburuk dalam beberapa dekade terakhir, tersingkir pada fase grup Liga Champions — yang membuat mereka harus bermain di Europa League, pertama setelah tahun 2003, dan duduk pada peringkat ke-9 di La Liga hingga matchday ke-13. Hal ini membuat Koeman harus dipecat, dan digantikan oleh Xavi.

Xavi harus menjaga kapal yang sudah bolong di sekitar badannya untuk tidak karam. Langkah pertama yang Xavi lakukan adalah dengan memperkuat lini serang Barcelona. Karena Xavi bermain dengan skema 4–3–3, ia membutuhkan penyerang yang mampu bergerak ke mana saja, penyerang kedua yang mampu memanfaatkan celah yang terbuka oleh penyerang pertama, dan penyerang ketiga yang mampu untuk membuka ruang dengan menggunakan dribelnya. Xavi memilih Ferran Torres untuk penyerang pertama, Pierre-Emerick Aubameyang untuk penyerang kedua, dan Adama Traore untuk penyerang ketiga.

Mungkin, ini rencana jangka pendek dan sedang yang disebut oleh Xavi, yaitu dengan menggunakan Aubameyang sebagai penambah pundi gol, yang dapat meningkatkan performa mereka secara jangka pendek. Aubameyang juga tidak perlu beradaptasi terlalu banyak, karena gaya permainan Xavi cukup mirip dengan Mikel Arteta, pelatihnya di Arsenal. Lalu, Xavi menggunakan Ferran sebagai calon false nine dinamis atau sayap jangka panjang Barcelona, karena kemampuan di atas dan tanpa bolanya. Traore merupakan sayap kekar dan bertenaga tinggi, yang membuat dribelnya susah ditahan oleh satu pemain, sehingga lawan mereka harus melakukan double team. Hal ini membuka ruang di sisi lain, sehingga Barcelona mendapatkan keunggulan jumlah pemain. Dalam jangka panjang, jika Barcelona mendapatkan sayap baru atau secara konsisten memainkan Dembele, Traore mampu untuk menjadi role player yang krusial.

Penambahan ketiga pemain ini menyebabkan produksi npxG+xA Barcelona semakin meningkat. Alhasil, Barcelona tidak perlu mengandalkan satu pemain lagi dan memiliki variasi yang lebih banyak dalam menciptakan peluang.

Alhasil, Barcelona menikmati kesuksesan yang cukup besar di La Liga. Mereka tidak terkalahkan dalam 15 pertandingan, serta menang 4–0 pada El Clasico. Mereka juga mampu meloncat dari peringkat 9 menuju peringkat 2. Memang masih terdapat inkonsistensi; Barcelona kalah di perempat final Europa League, dan kalah melawan Cadiz serta Rayo Vallecano di kandang. Namun, secara keseluruhan, dengan komposisi skuad ini, Barcelona tidak hanya mampu untuk “mengapung”, tapi juga melaju.

Semua orang menebus dosa mereka, tidak terkecuali Barcelona. Mereka nampaknya sudah mulai belajar dari kesalahan terdahulu mereka. Dan pada akhirnya setelah sekian lama terperangkap di lubang gelap, terdapat secercah cahaya terang untuk masa depan Barcelona.

No responses yet

Write a response