Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Moral serta Sosial (Sebuah Tulisan yang Tercipta dari Kerapuhan Diri)

“Alam semesta adalah sebuah untaian antara benda dan kejadian, dan manusia, untuk bertahan hidup dan berkembang, berusaha untuk mencari tahu dan mengintervensinya. Hal itu memberi jalan kepada ilmu, yang akan berkembang menjadi metode saintifik, sebuah metode dimana kita berusaha mencari tahu dan mengintervensi dengan menggunakan aturan yang ketat, metode yang sudah diuji secara komprehensif, serta struktur yang runtut.”
Aku menebalkan kalimat pertama karena Kakek selalu memulai pembahasan tentang ilmu pengetahuan dengan rangkaian kata tersebut. Sisanya adalah kata-kata yang aku buat sendiri, namun mengikuti dasar pemikiran Kakek, serta pemahaman dari diri yang sebenarnya belum tahu apa-apa soal filsafat ilmu.
Sampai disini saja tetek bengeknya.
Aku bingung. Bingung dengan diri ini. Bingung dengan orang lain. Bingung dengan masyarakat. Bingung dengan segala untaian-untaian yang pada akhirnya akan membentuk alam semesta ini. Bingung tersebut tumbuh menjadi sifat ingin tahu, sifat ingin tahu tumbuh menjadi motivasi untuk meneliti dan mengintervensi, motivasi tersebut tumbuh menjadi kerja nyata dalam meneliti dan mengintervensi, serta penelitian dan intervensi tumbuh menjadi kebingungan yang baru.
Sialan. Bahkan aku ragu, bertanya-tanya apabila analogi sebab-akibat tadi merupakan sesuatu yang absah. Dasar heuristik.
Aku merasa bahwa diriku ini berbeda. Pada dasarnya semua makhluk itu berbeda (dan juga sama), namun perbedaan ini seringkali menyebabkan nestapa dalam perjalanan hidupku. Perbedaan yang membuat aku jatuh pada strata sosial, menciptakan komunikasi satu arah, serta hilangnya rasa percaya pada diriku yang malang ini.
Pertemuan dengan manusia membuatku senang, juga takut. Senang karena rasa haus sosial yang terpenuhi, takut akan persepsi mereka tentang diriku yang seringkali berbeda dari yang mereka harapkan. Konflik diri ini seringkali membuat diriku sedih, terutama saat mereka tidak mengerti atau terganggu dengan perilakuku.
Konflik diri = Manifestasi dari bingungnya menguak untaian benda dan kejadian?

Aku tidak suka, TIDAK SUKA, komodifikasi. Aku tidak ingin menyerahkan diriku pada pasar, tidak ingin menjadi target pasar, serta tidak ingin melihat sebuah kejadian yang seharusnya bisa diselesaikan dengan nalar dan aksi moral dibentuk sesuai yang pasar mau. Manusia mengorbankan moralnya demi behaviorisme yang dikuatkan oleh kurva tren. Dasar makhluk kurva S.
“Sudahlah, kau juga sering mengikuti dan memberi pendapat ketika bergosip, kan?”
“Artikel ini dibuat karena kau merasa kesepian seperti orang lain, kan?”
DIAM, AKU TAHU DIRIKU INI TERKADANG MUNAFIK.
Maafkan sebagian dari diriku yang menyerobot tadi.
Oke. Terjadilah perperangan di diri yang malang ini. Antara diri yang membuatku nyaman dengan diri yang aku modifikasi sesuai yang dunia (mungkin juga pasar) ini harapkan. Namun, kedua hal ini ternyata tidak seterpolarisasi seperti yang aku bayangkan. Bahkan, mereka terkadang malah tumpang-tindih satu sama lain.
Pertama, rasa nyaman yang nampaknya memiliki manifestasi berbentuk sifat ingin menang sendiri, ingin menstimulasi pikiran ini dengan sesuatu yang aku suka (bukan yang aku butuh), membuat diriku semakin tidak terhubung dengan dunia ini. Selanjutnya, diri yang orang lain suka namun membuat diriku sendiri tidak nyaman serta capai. Ternyata, setelah aku makin gali, rasa senang yang mereka rasakan, dibuat oleh diri palsu tersebut, malah memberikan kebahagiaan murni pada diriku. Diri nyaman tersebut, yang aku anggap sebagai diri asliku, malah menyebabkan emosi, pemikiran, dan aksi yang terasa palsu.
Upaya manusia dalam menguak untaian benda dan kejadian ini seringkali mengalami kendala. Entah karena kurangnya sumber daya, masalah etis (manusia mempunyai tanggung jawab moral serta sosial), tidak terbatasnya variabel yang mempengaruhi untaian ini (serta penelitian ekstensif yang harus dilakukan untuk mengukur variabel-variabel ini), atau hal-hal lainnya (variabel itu tidak terbatas, kan?).
Ilmu pengetahuan itu membingungkan.
Tanggung jawab moral serta sosial juga merupakan sebuah kewajiban (akan dijelaskan nanti).
Maka, kita harus berbuat apa?
Pengetahuan yang Absolut Tidak Akan Pernah Sejalan dengan Tanggung Jawab Moral serta Sosial, dan itu Tidak Apa-Apa.

Sejak awal Homo Sapiens (manusia) diciptakan (atau berevolusi, tergantung kepercayaan), spesies ini harus mempertahankan hidupnya secara konstan. Maka, manusia harus memutar otak untuk meneliti dan mengintervensi komponen-komponen yang dimiliki oleh bumi ini. Kematian manusia yang tidak terhindarkan (serta dipercepat jika manusia lalai merawat dirinya sendiri) membuat mereka harus mengambil keputusan secara cepat dan rasional. Tentunya, kecepatan dan kompleksitas pemikiran tidak berbanding lurus. Maka, terciptalah heuristik, sebuah strategi untuk membuat kesimpulan yang tepat dan cepat (namun tidak sempurna). Dari awal terciptanya manusia, konflik antara kecepatan dan rasionalitas sudah terjadi.
Manusia juga merupakan makhluk sosial. Ketidakmampuan kita untuk menjadi sendiri membuat kita mencari hubungan dengan orang lain, untuk mempertahankan hidup kita (kasarnya nyawa di masa lalu dan kesejahteraan di masa sekarang). Dalam menjaga hubungan dengan orang lain, dibutuhkan sebuah landasan moral yang kokoh dan spesifik. Landasan moral yang spesifik ini, nantinya, akan mempermudah relasi kita dengan orang yang memiliki nilai-nilai hidup yang sama, namun juga memisahkan hubungan dengan orang yang memiliki nilai yang berbeda. Inilah yang disebut polarisasi.
Polemik dari polarisasi ini dapat mempersulit kita untuk melihat pandangan orang lain secara objektif dan rasional. Perbedaan kompas moral dapat menimbulkan rasa benci di antara dua pihak yang berada dalam kutub berbeda. Rasa benci dapat meningkatkan ego, dan ego dapat meningkatkan bias. Rasionalitas berbanding terbalik dengan tanggung jawab moral serta sosial.
Jalan tengah bukanlah sebuah solusi absolut, melainkan sebuah pilihan belaka. Pilihan yang akan kita pilih, salah satunya, dipengaruhi oleh nilai-nilai diri (meskipun kadang nilai-nilai diri suka munafik). Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Menurutku, ilmu pengetahuan itu menyerupai sebuah limit matematika. Mendekati, namun tidak akan pernah mencapai 0 absolut.

Lalu, apa jalan yang akan aku pilih? Aku telah menjalani 18 tahun lebih hidup mencari kesempurnaan, yang sebenarnya tidak akan pernah ada. Semoga saja diri yang selalu bingung dan ragu ini bisa bertemu dengannya.