Erling Haaland: Masa Depan Pemain Individualis

Irzi Ahmad R
6 min readDec 31, 2022

--

Oke, pertama aku tidak nonton Blue Lock. Anime bola yang pernah kutonton adalah Tsubasa dan Ao Ashi. Tapi aku bisa mengerti bagaimana alur cerita Blue Lock didapatkan. Jepang terlalu baik, terlalu welas asih, sehingga mereka butuh striker egois. Sangat individualis dengan satu tujuan: robek jala gawang dengan cara apa pun.

Pelatih Jepang, Hajime Moriyasu, tidak terlalu percaya dengan perspektif ini. Ia lebih memilih Daizen Maeda dibandingkan dengan Kyogo Furuhashi — bomber paling subur di Skotlandia.

Ya Tuhan, Kyogo. (Sumber: Opta Analyst)

Alasannya dapat terlihat di lapangan; Maeda terlahir untuk berkorban demi timnya. Ia sering melakukan pressing untuk menghentikan progresi lawan, bergerak untuk membuka ruang bagi rekannya, dan bekerja keras hingga peluit panjang usai. Hal itu merupakan salah satu alasan mengapa Jepang mampu mengalahkan Jerman dan Spanyol, sebelum ditaklukkan oleh Kroasia melalui adu penalti.

Individual yang dulunya mencuri sejuta perhatian sekarang harus menjadi pemain asing di belakang layar. Ronaldo tidak lagi diminati oleh klub besar, Benzema terkena PHP oleh Deschamps, hingga — di negeri kita sendiri — Spaso yang pasif-agresif karena gagal melewati TC Timnas.

Tren ini membuat kita berpikir bahwa striker egois telah “mati.” Yah, sebenarnya tidak mati-mati amat, mereka masih diandalkan untuk memecahkan kebuntuan. Tapi, yang pasti, mereka sudah jadi lebih terasing di timnya. Permainan menjadi lebih kolektif, semua harus berkorban demi satu sama lain.

Terdapat beberapa perspektif yang mengkhawatirkan perkembangan taktik sepak bola pada masa sekarang, salah satunya adalah karya Jon Mackenzie kemarin. Alasannya? Perkembangan taktik terlalu menitikberatkan pada proses balas-membalas ide, dibandingkan dengan ditarik melalui apa yang terjadi di lapangan.

Proses balas-membalas ide ini dapat semakin menjauhkan kita dari apa yang terjadi di lapangan, sesuatu yang berbau materi. Alhasil, taktik — yang dihasilkan dari ide-ide ini — dapat menjadi tidak sinkron dengan kebutuhan dan keinginan pemain. Dunia ide semakin terisolasi dan out of touch terhadap dunia materi.

Maka, Jon menyarankan untuk kita agar memerhatikan pendekatan lainnya: mengambil ide taktik berdasarkan pengambilan keputusan seorang pemain di lapangan. Pengambilan keputusan ini, tentunya, sesuai dengan gaya permainan seseorang, dan pada hari ini aku akan mencoba menggunakan Haaland sebagai contoh.

Erling Haaland adalah seorang cyborg. Mewarisi genetik atlet dari orang tuanya (ayah pemain bola dan ibu atlet serba-bisa), profil fisik Haaland bisa membuat bahkan ilmuan biomekanik terbaik di dunia pun geleng-geleng kepala.

Dengan tinggi 1.94m dan berat 88/89kg, Haaland memiliki fisik seorang target man. Akan tetapi, ia malah bermain layaknya seorang poacher, memiliki kontrol atas pergerakannya dan sangat tajam di depan gawang.

Mungkin kita dapat menjadikan Bundesliga sebagai alasan mengapa Haaland bisa terlihat berbahaya. Lagipula, liga tersebut tidak tahu caranya bertahan! Yah, hal itu ada benarnya, namun Haaland mampu membuktikan bahwa dirinya bisa perform lawan tim sekaliber PSG.

Kepindahannya menuju City menimbulkan beberapa pertanyaan. Haaland bukan striker yang biasa dilihat di tim Pep; lain dari pada striker yang sering turun dan memfasilitasi build-up — ya, setidaknya selain Aguero. Ia terkenal sebagai pelatih yang menjadikan pemain layaknya pion; kamu harus memosisikan diri di sini, di situ, menerima bola dengan cara ini itu

Mungkin, di musim ini, Pep punya perspektif lain. Barangkali ia kesal dengan Real Madrid yang dapat mengandalkan pemainnya untuk memutarbalikkan keadaan, dan melihat Haaland sebagai the missing puzzle piece. Kali ini, Pep merelakan dirinya untuk menjadi “pion” Haaland.

Haaland merupakan seorang bomber klasik; punya positioning yang bagus, timing dalam bergerak, dan punya presence yang menyeramkan di kotak penalti (i mean, tendangannya keras banget anjir). Ia terlihat seperti pemain yang mampu untuk mencetak gol dari berbagai posisi. Yikes.

Monster.

Hingga sekarang saja, Haaland telah mencetak 20 gol (12.6 xG) dari 14 pertandingan. Ia juga mencetak lebih dari 1 gol tiap 4 tembakan. Dalam arti lain, ia sudah mencatatkan sebuah penampilan historis bagi seorang striker di Premier League!

Puja Lord Haaland.

Oke, kita sudah menjelaskan yang seharusnya. Haaland merupakan striker terbaik dunia karena ia banyak mencetak gol. Tidak ada yang mengejutkan. Bagaimana kalau pertanyaannya kita ubah: Apakah gaya bermain Haaland memberikan inspirasi bagi Pep?

Permainan Pep selalu memperhatikan penciptaan dan penempatan ruang, yang terjadi secara dinamis mengikuti jalannya pertandingan. Pergerakan Haaland dapat memberi waktu dan ruang bagi rekannya untuk mendribel. Lihat di sini pergerakan Haaland tarik dua bek dan buka ruang bagi Mahrez.

Presence Haaland yang dapat menarik perhatian satu (atau lebih) bek juga mampu untuk menciptakan ruang bagi pemain lainnya. City biasanya menaruh pemain di dekat Haaland untuk menciptakan situasi 2 lawan 1. Bek akan menjadi pusing harus menjaga siapa.

Lihat Grealish yang mendekati Haland.

Haaland juga sering memosisikan dirinya di tiang jauh untuk menerima crossing. Nah, karena aerial threat Haaland sangat besar, ia mampu membuat dua pemain menjaganya. Alhasil, ruang kembali terbuka untuk pemain lainnya.

Positioning Haaland buka ruang bagi de Bruyne dan Grealish.

Semua di atas merupakan contoh pengambilan ide dari dunia material, dan sekarang aku akan mencoba memberikan contoh sebaliknya: memengaruhi dunia material dengan ide. Ide terdahulu (a priori) yang digunakan oleh Pep adalah menggunakan penyerangnya untuk turun dan memfasilitasi build-up. Secara individual, mereka juga sebaiknya menerima bola dengan bentuk badan terbuka (tidak sepenuhnya menghadap ke belakang) dan langsung melihat ke depan.

Ide tersebut juga diaplikasikan pada Haaland; ia menjadi lebih sering drop deep dan memfasilitasi build-up dari Manchester City. Aku akan membuat diriku sendiri keliru; Haaland sebenarnya sudah menunjukkan kemampuan teknikal yang cukup baik — namun di Bundesliga. Tantangannya lebih ke arah postur tinggi Haaland yang membuat dirinya terlihat kaku untuk bermain dua sentuhan.

Terkadang, Haaland punya ide untuk mengakali hal ini. Ia menggunakan kebiasaannya memunggungi lawan untuk menipu mereka dan memantulkan bola ke rekannya. Bisa dilihat di sini, Haaland mampu untuk melakukan flick ke arah Gundogan (seorang pelari ke belakang lini yang ajib) dengan cerdik.

Flick cerdik dari Haaland.

Namun, untuk menjadi pemain yang lebih lengkap, Haaland juga meningkatkan kemampuannya dalam menerima bola dengan postur badan terbuka. Di sini, badannya yang menghadap ke touchline membuatnya mampu untuk melihat lari dari de Bruyne dan menemukannya dengan umpan pantul.

Memasukkan pemain individualis dalam sebuah tim sebenarnya bukan perkara pelik; kita hanya mengikutsertakan mereka dalam proses tukar menukar antara ide-material dan material-ide (sebenarnya juga ide-ide dan material-material tapi bahasan ini akan menjadi lebih rumit). Atau dalam arti sederhana, kita memanfaatkan mereka dalam proses perancangan taktik dan membantu mereka dalam mengembangkan diri, menggunakan ide kita.

Proses ini terjadi secara dinamis dan akan berdampak positif pada kedua pihak (pemain dan pelatih). Pemain dan pelatih sama-sama menemukan insight baru dan berkembang menjadi individu yang lebih baik lagi. Barangkali, hal ini juga dapat diaplikasikan di dunia nyata; individualis yang terbuka pada ide baru dan kolektivis yang membuka dirinya pada dunia individualis yang penuh dengan keajaiban.

--

--

No responses yet